MENENTUKAN HILAL


[Menentukan Hilal?, M. Thoharo, Lc., Yayasan As-Sunnah Cirebon, Oktober 2003]

Syeikul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahulloh ditanya tentang penduduk suatu kota ( negeri, pent ) sebagian mereka melihat hilal ( bulan sabit ) Dzulhijah, namun tidak diakui pemerintah kota tersebut, maka apakah mereka boleh berpuasa pada hari yang secara dzohir ( menurut umum , pent ) adalah tanggal 9 sedangkan secara bathin ( hakikat menurut penglihatan hilal, pent ) adalah tanggal 10 ?
Beliau menjawab : Ya, mereka berpuasa pada hari yang ke 9 secara dzohir sekalipun pada hakekatnya hari itu adalah hari yang ke 10 ( Dzulhijah, pent ), andaikata memang benar penglihatan hilal tersebut sebab diterangkan dalam "Sunan" dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi shalallahu 'alaihi wasallam sesungguhnya beliau bersabda :
"Puasa kalian adalah di hari kalian semua berpuasa dan berbukanya kalian ( ber Idul Fitri, pent.) adalah pada hari kalian semua berbuka dan berqurbannya kalian adalah dihari kalian semua berqurban ( beridul adha, pent.)" ( HR Abu Daud, Ibnu Majah & Tirmidzy dan beliau menshohihkannya ).
Dan dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata telah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:
"Berbuka ( berldul Fitri,pent. ) itu adalah ada hari manusia berbuka dan berqurban ( berldul Adha ) itu adalah pada hari manusia berqurban." (HR At Tirmidzy ).
Maka atas dasar inilah semua para imam kaum muslimin memberlakukannya. Oleh karena itu jika manusia ( orang banyak, pent ) wukuf di Arofah pada hari ke 10 ( menurut hilal ) maka sah wukufnya mereka secara sepakat ( menurut para ulama pent.), dan hari itulah Arofah bagi mereka. Dan kalau sekiranya mereka wukuf di hari yang ke 8 secara salah ( menurut ru'yah hilal ) maka dalam hal ini ada perselisihan ( di antara para ulama, pent.) dan yang lebih kuat ( dari pendapat tersebut, pent.) adalah sah juga wukufnya, dan ini adalah salah satu pendapat dari dua pendapat dalam mazhab Imam Malik dan Imam Ahmad dan yang lainnya.
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata :
"Hanyasanya hari Arofah itu adalah hari yang diketahui manusia (orang banyak, pent. ). "
Dan inti masalahnya adalah karena sesungguhnya Allah Ta'ala mengaitkan hukum "hilal" dengan " syahr (bulan) " maka Allah Ta'ala berfirman :
" Mereka bertanya kepadamu tentang hilal – hilal tersebut, maka katakanlah bahwa hilal - hilal itu adalah (tanda ) waktu - waktu untuk manusia dan (waktu) berhaji " (QS. Al Baqoroh : 189 ).
Dan kata " Hilal " itu adalah istilah untuk sesuatu yang di i'lankan dan di jaharkan ( di sebarluaskan dan di umumkan secara luas, pent. ) maka apabila hilal itu muncul di langit namun tidak di ketahui manusia dan mereka tidak meneriakkannya dan menyiarkannya ( secara umum, pent.) maka berarti itu bukanlah Hilal.
Begitu pula " Syahr " (bulan) yang diambil dari kata syuhroh" ( artinya masyhur, pent ), maka jika tidak masyhur di khalayak ramai berarti belum termasuk pada bulan yang dimaksud.
Dalam hal ini banyak manusia yang keliru di karenakan menurut persangkaan mereka bahwa apabila hilal telah muncul di langit berarti malam itu adalah awal bulan, sama saja apakah itu diketahui orang banyak dan mereka menyiarkannya ataupun tidak demikian. Padahal tidaklah seperti itu, bahkan kemunculan dan ketersiaran ( hilal, secara umum, pent. ) adalah suatu keharusan. Oleh karena itu Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Puasanya kalian adalah pada hari kalian semua berpuasa dan berbukanya kalian adalah pada hari
kalian semua berbuka dan berqurbannya kalian adalah pada hari kalian semua berqurban."
Yaitu pada hari yang kalian semua ketahui bahwa sesungguhnya hari itu adalah waktu berpuasa dan berldul Fitri, serta berldul Adha, maka bila kalian tidak mengetahuinya berarti tidak ada keterkaitan atasnya suatu hukum.
Sedangkan puasa pada hari yang diragukan padanya, yaitu pada hari yang ke 9 Dzulhijjah atau hari yang ke 10 Dzulhijjah ? maka pada hari itu boleh berpuasa dan tidak ada perselisihan di antara ulama, karena pada asalnya adalah tidak adanya hari yang ke 10 sebagaimana mereka meragukan malam 30 Romadhon apakah telah muncul hilal ataukah belum, maka mereka boleh berpuasa di hari yang meragukan itu, menurut kesepakatan para Imam kaum muslimin. Karena hari yang diragukan yang di riwayatkan makruhnya berpuasa di hari itu adalah pada awal Romadhon, sebab pada asalnya adalah masih adanya bulan Sya'ban.
Dan hanya saja yang menjadi syubhat (kesamaran) dalam masalah ini ada dua perkara :
1. Kalau sekiranya ia melihat hilal bulan Syawal seorang diri atau telah mengkabarkan kepadanya tentang munculnya hilal tersebut sekelompok orang yang telah mereka kenal akan kejujurannya maka apakah ia boleh berbuka ataukah tidak ?
2. Kalau sekiranya ia melihat hilal bulan Dzulhijjah atau telah mengabarkan kepadanya sekelompok orang yang telah terkenal kejujurannya maka apakah boleh baginya untuk wukuf di Arofah pada tanggal 9 dan berqurban pada tanggal 10 menurut penglihatan hilal tersebut ataukah wukuf dan berqurban menurut orang banyak ?
Adapun masalah yang pertama : yaitu orang yang sendirian melihat hilal Syawal, maka ia tidak boleh berbuka secara terang - terangan dan ini menurut kesepakatan para ulama, kecuali bila ia punya udzur yang dibolehkan untuk berbuka seperti sakit atau safar ( bepergian jauh ), namun apakah ia boleh berbuka secara sembunyi - sembunyi ? maka dalam hal ini ada dua pendapat dari para ulama dan yang paling shohih ( paling benar ) dari kedua pendapat itu adalah : ia tidak boleh berbuka sekalipun secara sembunyi - sembunyi, dan ini adalah mazhab Imam Malik dan Imam Ahmad menurut pendapat yang mashur dari keduanya.
Dan juga ada pendapat lain yaitu : boleh ia berbuka secara sembunyi - sembunyi, menurut pendapat yang masyhur dari Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i. Dan sungguh telah diriwayatkan bahwa ada dua orang lelaki di zaman Umar bin Khotthob radhiyallahu 'anhu yang keduanya melihat hilal bulan Syawal secara langsung, lalu salah seorang dari keduanya berbuka dan yang lainnya tidak berbuka, maka tatkala berita itu sampai kepada Umar, lalu Umar berkata kepada orang yang berbuka tadi :
"Kalau saja bukan karena temanmu, sungguh aku akan menyakitimu dengan pukulan ( sebagai hukuman, Pent. )"
Karena berbuka itu adalah pada hari manusia (orang banyak) berbuka, dan itulah hari raya (Idul Fitri), sedangkan orang yang bersendirian atas dasar penglihatan hilalnya, maka itu bukanlah hari raya yang Nabi shalallahu 'alaihi wasallam melarang berpuasa padanya, maka beliau melarang berpuasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha ( menurut orang banyak atas dasar ketetapan pemerintah, pent.) dan beliau bersabda:
"Adapun salah satu dari keduanya yaitu hari berbukanya kalian dari berpuasanya kalian dan adapun yang lainnya adalah hari kalian makan -makan padanya dari sembelihan kurban kalian " ( HR. Bukhari dan Muslim )
Maka yang dilarang Nabi shalallahu 'alaihi wasallam berpuasa padanya adalah pada hari kaum muslimin semuanya berbuka ( berldul Fitri ) dan pada hari mereka berqurban ( berldul Adha ).
Dan hal ini akan menjadi jelas pada masalah yang ke dua : yaitu jika ia seorang diri melihat hilal Dzulhijjah maka ia tidak boleh wukuf sebelum orang-orang wukuf yang pada hari itu adalah hari yang ke 8 ( Dzulhijjah ) menurut dzohirnya, sekalipun menurut ru'yah hilal yang dia lihat sendiri itu adalah hari yang ke 9 (Dzulhijjah). Hal ini dikarenakan kesendirian dalam wukuf dan menyembelih (berqurban) adalah perkara yang termasuk menyelisihi jama'ah" begitu pula dalam masalah berbuka secara terang- terangan.
Dan adapun berpuasa pada hari yang ke 9 menurut orang banyak, namun menurut orang yang melihat hilal secara langsung atau telah mengkabarkan kepadanya dua orang yang terpercaya bahwa sesungguhnya mereka berdua telah melihat hilal yang sebenarnya, dan had itu adalah hari yang ke 10, namun tidak ditetapkan ( tidak diakui pemerintah, pent.) padahal hari itu adalah hari yang ke 10 menurut penglihatan hilal maka hal ini tidak keluar dari masalah yang lalu, yaitu siapa saja orangnya yang memerintahkan kepadanya untuk berpuasa pada hari yang ke 30 yang hari itu menurut penglihatan hilal adalah masuk bulan Syawal dan ia tidak boleh memerintahkannya untuk berbuka sekalipun secara sembunyi-sembunyi, begitu pula ia boleh berpuasa pada had itu ( hari yang ke 9 Dzulhijjah menurut ketetapan umum, pent. ) dan bahkan sangat disukai baginya untuk ( berpuasa ), karena hari itu adalah hari Arofah, begitu pula di bulan Romadon, dan inilah yang benar berdasarkan "As - Sunnah" dan "Al -I'tibar" (sesuatu yang di sepakati para ulama, pent.)
Dan barangsiapa yang memerintahkan padanya untuk berbuka secara sembunyi-sembunyi dikarenakan telah melihat hilal maka ia tidak boleh berpuasa di hari itu, ini menurut orang yang berpendapat seperti itu, begitupula tatkala melihat hilal bulan Syawal seorang diri.
Maka jika dikatakan : sungguh Imam (pemimpin negeri, pent ) yang diserahi keputusan penetapan hilal itu tidak benar ( keliru ) karena ia menolak persaksian orang-orang yang adil ( terpercaya ) dengan sebab malasnya dia untuk menyelidiki kejujuran mereka atau dia menolak persaksian mereka karena adanya permusuhan antara dia dengan mereka, atau selain itu dari sebab-sebab atau alasan-alasan yang lain yang tidak dibenarkan secara syari'at atau karena kepercayaan mereka kepada perkataan para ahli perbintangan yang menurutnya tidak melihat hilal tersebut.
Dikatakan : "apa yang ditetapkan secara hukum tidaklah menyelisihi ketetapan dirinya sebagai panutan ( orang yang di ikuti ) dalam penentuan masalah hilal, baik dia bersungguh - sungguh berijtihad lalu benar ataupun salah atau malas tidak bersungguh-sungguh (dalam mencurahkan segala usaha dan kemampuannya,pent.) sehingga ia menyatakan bahwa hilal tidak nampak yang ini kemudian menjadi ketetapan bagi masyarakat, maka hal ini telah di jelaskan dalam hadits yang shohih sesungguhnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang masalah para Imam (pemimpin negeri )
"Mereka (para pemimpin negeri) sholat mengimami kalian, maka jika mereka benar kalian mendapatkan pahala dan juga mereka, namun jika mereka salah kalian tetap mendapatkan kebaikan pahala sedangkan mereka mendapatkan dosa."(HR. Bukhari)
Maka kesalahan dan kekurangannya itu hanyalah menimpa diri pemimpin itu saja, adapun kaum muslimin ( tetap mendapatkan kebaikan pahala) dan mereka tidak di anggap melakukan penyimpangan dan kesalahan.
Dan tidak ragu lagi bahwa sesungguhnya di dalam sunnah yang shohihah dan berdasarkan kesepakatan para sahabat Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bahwa sesungguhnya tidak boleh menyandarkan diri kepada ilmu hisab perbintangan, sebagaimana diterangkan dalam shohih Bukhori dan Muslim sesungguhnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Sesungguhnya kami adalah ummat yang umi kami tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung maka
berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya."
Dan orang yang menyandarkan diri kepada ilmu hisab untuk menentukan hilal berarti dia adalah orang yang tersesat dalam masalah agama dan pelaku bid'ah dan tidak bisa dibenarkan baik secara akal maupun ilmu hisab itu sendiri, sebab para ahli hisab mereka menyatakan bahwa : Ru'yah itu tidaklah sejalan dengan ilmu hisab. Dan hanya saja tujuan hisab mereka apabila memang jujur yaitu hanya untuk mengetahui berapa derajat letak posisi antara hilal dan matahari pada saat terbenam sebagai misal. Akan tetapi Ru'yah itu tidak bisa diukur dengan tepat pada derajat tertentu, dengan sebab adanya perbedaan segi ketajaman memandang ataupun lemahnya, juga perbedaan ketinggian tempat memantau hilal ataupun rendahnya. Dan bergantung pula pada kondisi udara apakah cerah ataupun mendung. Dan terkadang sebagian orang ada yang bisa melihat hilal dengan ketinggian 8 derajat namun sebagian yang lainnya tidak bisa melihatnya sekalipun dalam ketinggian 12 derajat.
Oleh karena itu para ahli hisab sendiri saling berselisih dalam menetapkan busur derajat yang susah untuk mencapai kesepakatan sebab tidak adanya suatu kepastian dari para pencetusnya itu sendiri, di antara mereka adalah Buthlimous,yang mereka itu tidak berkomentar sama sekali dalam masalah itu sebab tidak ada dasar dan tidak ada patokannya dalam ilmu hisab. Dan hanya saja yang berkomentar dalam masalah ini adalah mereka orang yang datang kemudian, seperti : Wisy Yordailmy, dan yang semisalnya, yaitu dikala mereka memandang bahwa syari'at mengkaitkan hukum dengan hilal lalu mereka memadukan dan menerapkan ilmu hisab sebagai cara untuk menetapkan Ru'yah, padahal tidaklah cara itu benar dan tepat, bahkan kesalahan dan melesetnya sangat sering dan hal ini telah teruji dan terbukti, dan di kalangan mereka sendiri banyak berselisih, yaitu apakah hilal dapat di lihat ataukah tidak ?. Dan sebabnya adalah di karenakan mereka memaksakan menerapkan teori perhitungan yang padahal tidak ada dalam ilmu hisab itu sendiri, maka pada akhirnya mereka salah dan keliru dari jalan yang benar. Dan sungguh saya telah menjelaskan masalah ini dengan panjang lebar di tempat lain.
Maka saya nyatakan bahwa ape saja yang telah diterangkan dalam dalil Naqli (Al - Qur'an dan As - Sunnah, pent.) yang shohih maka itulah yang cocok dan sesuai dengan akal yang sehat, begitu pula saya telah menerangkan juga batasan masalah penentuan " hari ". Dan saya pun telah menjelaskan bahwa hal itupun tidak tepat untuk diterapkannya ilmu hisab, sebab hari itu muncul dikarenakan pancaran uap kelembaban yang naik ke atas, oleh karena itu siapa yang ingin mengambil interval waktu Isya dari interval waktu Fajar, hanya saja pernyataannya akan benar kalau sekiranya ia menetapkan terhadap munculnya cahaya dan tersembunyinya adalah hanya sejajar dengan garis ufuq ( horizontal ) yang diketahui oleh ilmu hisab.
Namun bilamana uap tersebut berpengaruh terhadap masalah ini, yaitu dikala musim hujan jauh lebih banyak uap dari kelembaban bumi jika dibandingkan dengan musim kemarau dikala bumi mengering, dan hal ini tidak akan tepat diukur dengan ilmu hisab maka rusaklah cara pengukuran ilmu hisab tersebut.
Oleh karena itu didapati bahwa interval waktu fajar akan lebih panjang di musim dingin dari pada di musim panas dan pengambilan dengan cara ilmu hisab ini akan mengalami kesulitan, dikarenakan interval waktu fajar itu menurutnya adalah mengikuti waktu slang, dan ini juga telah dijelaskan di tempat lain. Wallohu A'lam.
( Lihat Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah cetakan baru jilid 25 hal 110 - 113 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar